Nutekno - Selama ini, masyarakat masih memandang negatif kaum hacker (peretas). Terutama bagi mereka yang tidak paham dunia Teknologi Informasi (TI). Stigma negatif itu, menjadikan orang geram, marah dan melawan hacker. Namun dengan apa? Mereka itu maya seperti “setan”.
Padahal, mereka sebenarnya bisa memberikan manfaat besar bagi masyarakat. Juga bagi perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak semua orang bisa menjadi hacker. Bahkan, dosen maupun mahasiswa fakultas ilmu komputer belum tentu bisa sehebat mereka, karena kaum peretas memiliki kemampuan di atas rata-rata.
Ilmu yang mereka miliki biasanya tidak didapatkan melalui pendidikan formal, melainkan belajar secara otodidak. Siapa saja berpotensi menjadi hacker. Maka, kemampuan mereka perlu dibina, diarahkan agar untuk kepentingan dan kemajuan dunia cyber.
Dalam dunia TI, hacker dibedakan menjadi dua, yakni white hat (peretas positif) dan black hat (peretas negatif). Hacker yang memanfaatkan kemampuannya untuk memperkuat dan melindungi keamanan data disebut white hat. Sedangkan black hat, mereka mengakses, mencuri maupun memanipulasi data untuk merugikan pihak tertentu.
Hacker biasanya muncul ketika ada konflik yang terjadi di tengah msyarakat. Mereka beraksi dengan cara menyerang website, laman, situs atau portal. Targetnya, merusak atau mencuri data. Perusahaan besar maupun instansi pemerintah seringkali menjadi sasaran empuk hacker.
Situs pemerintah biasanya kurang kuat keamanannya. Sebab, pembuatannya hanya memenuhi syarat administratif. Jika tidak dilakukan perawatan secara berkala, maka banyak celah dimanfaatkan hacker. Jangan heran bila situs pemerintah sering dibobol hacker, karena dibuat asal-asalan. Padahal keamanan harusnya menjadi prioritas utama untuk melindungi data.
Data Menkominfo pada tahun 2011 menyebut ada sekitar 3 juta kali serangan hacker terhadap situs pemerintah. Rata-rata situs yang diserang memiliki domain .go.id (Tribunnews, 17/7/12). Jumlah itu pasti terus meningkat tiap tahun. Para pelaku biasanya melakukan penyerangan dengan cara defacing, yakni hanya mengganggu halaman utama situs dengan menyertakan pesan. Juga berbagai aksi kejam lainnya yang membuktikan bahwa hacker ingin “berkuasa” dan mengobrak-abrik kehidupan lewat piranti cyber.
Pemberdayaan Hacker
Selain itu, hampir di tiap momentum politik seperti pemilu, laman penyelenggaran seperti KPU dan Bawaslu sering diretas pihak tertentu. Mereka mencuri data untuk kepentingan kelompoknya. Pemerintah kita sering kecolongan karena tidak mengantisipasi, punya tim IT yang kuat dan maintenance yang rapi.
Oleh karena itu, menjelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, KPU dan Bawaslu perlu memperketat keamanan data dan websitenya. Jika perlu mereka harus membentuk tim IT khusus bisa juga dari kalangan hacker untuk melindungi data pemilu dan keamanan server. Sebab, data yang tersimpan dalam server rentan terhadap kebocoran.
Jika sudah bocor tentu merugikan. Data yang bocor bisa ducuri dan dimanipulasi hacker. Hacker juga bisa menjual data yang bocor kepada pihak yang tidak bertanggung jawab.
Bagi mereka yang melakukan peretasan untuk kepentingan pihak tertentu maka berurusan dengan hukum. Sedangkan mereka yang meretas hanya mencari eksistensi, maka perlu diberdayakan melalui edukasi. Bisa berupa pelatihan, bimbingan, agar memiliki jiwa yang ramah IT.
Selain pelatihan, pemerintah juga harus memberikan project kepada mereka sesuai dengan keahliannya. Mereka bisa digaji untuk mengerjakan suatu project. Sehingga, merasa puas dengan hasil kerjanya. Dengan demikian, mereka tidak akan tertarik meretas lagi hanya mencari eksistensi.
Kemampuan hacker memperoleh informasi bisa dimanfaatkan pemerintah untuk menyadap kejahatan. Polri dan KPK bisa memanfaatkan mereka untuk menyadap percakapan atau informasi dari teroris, koruptor, ormas radikal. Sehingga, pelaku kejahatan mudah ditangkap sebelum aksi kejahatannya dilakukan maupun setelahnya. Jadi, bisa dilakukan pencegahan untuk meminimalkan risiko dan kerugian.
Etika Dunia Cyber
Dalam menggunakan internet tidak ada aturan baku. Namun, setiap pengguna harus mempunyai etika dalam berinternet. Dalam meretas situs, hacker seharusnya beretika. Biasanya, mereka menyelipkan pesan pada laman yang diretas. Pesan itu berupa keluhan sampai hujatan dengan menggunakan kata-kata kotor.
Bagi mahasiswa yang kuliah khususnya di jurusan IT, seharusnya paham dalam beretika di dunia maya. Dosen atau pengajar seharusnya tidak hanya mengajarkan ilmu teknis tentang keamanan cyber. Namun, lebih menekankan pendidikan karakter. Seperti, memberi pemahaman tentang memanfaatkan keahlian yang dikuasai untuk hal-hal positif. Tujuannya, supaya tidak terjerumus ke dunia gelap hacker.
Sebab, banyak lulusan IT yang memiliki kemampuan mumpuni dalam keamanan cyber. Selain itu, dukungan pemerintah dalam menyediakan wadah bagi mereka yang memiliki kemampuan sangat diperlukan.
Bagi pelaku IT yang pernah menjadi mahasiswa, mereka tidak pernah diajarkan meretas. Sebab, meretas adakah sebuah kejahatan, sama seperti mencuri dan menyakiti yang bukan milik kita.
Mayoritas peretas adalah pihak yang belajar secara otodidak dan mereka yang dibayar untuk kepentingan politik golongan tertentu. Maka sudah saatnya etika di dunia cyber diutamakan. Sebab, hukum karma pasti berlaku bagi orang jahat, termasuk hacker.
Opini ditulis oleh:
Dimas Saputro
Mahasiswa S1 Sistem Informasi
Tambahkan Komentar